Mungkin hampir semua kita pernah melihat kain perca atau benda yang terbuat dari itu. Mungkin juga berbagai benda lain yang dibuat dari benda-benda yang sebenarnya sudah remuk, koyak, pecah atau patah. Tak tahu dari sudut pandang yang lazim atau tidak, saya menangkap semangat yang berbeda dari benda-benda macam itu. Suatu rasa tak mau kalah. Semangat untuk tetap menjadi sesuatu. Semangat untuk tetap bahagia dan membahagiakan.
Pedih dan kesedihan tak ubahnya awan-awan dan hujan bagi kita. Dua hal tersebut, juga mungkin rekannya yang lain sering kali seperti susul menyusul merasuki hari dan hati kita. Dengan semua yang terjadi dan semua hal yang kita terima, kita akan sering kali merasa bahwa hanya kainkain perca yang tersisa buat kita untuk merajut hidup. Hanya sesuatu yang koyak, sebuah ketidaksempurnaan.
Kita bisa menangis, jadi bintang kesepian, lalu menulis puisi sedih di bawah hujan yang syahdu. Menyalahkan nasib, mempertanyakan "Mengapa bunda melahirkan aku?" Namun rasanya hidup ini terlalu lama untuk dilalui dengan menangis atau berkelahi dan menyumpahi dengan takdir.
Mengapa kita tidak memilih tersenyum, kemudian sambil bernyanyi lagu riang mengumpulkan perca-perca kepedihan, kegagalan, dan perca-perca lainnya. Bersiap-siap menyulamnya jadi sesuatu yang manis.
Entah ini kali ke berapa saya menulis, "Hidup adalah kumpulan dari ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan". Terkadang sesuatu harus terasa begitu pedih agar hal lain bisa begitu indah. Seberapa besar kita bisa meraih kebahagiaan dalam hidup sebanding dengan seberapa sering kita mengambil sikap yang tepat untuk mensyukuri semua yag terjadi dan menggambar keindahan yang lain dari remah-remah kepedihan.
Beberapa hal mungkin sudah terlanjur koyak, tak apa. Beberapa hal yang lain mungkin patah, ya sudahlah. Tersenyumlah tegar, lalu mulailah menyulam perca-perca kesedihan kita menjadi sesuatu yang lain. Mungkin saja taplak meja 'kearifan', sarung bantal 'kesabaran', sebuah kedewasaan, atau keikhlasan.
Terus kerjakan dan bertahanlah. Ketika kita berhasil dan semuanya selesai, orang lain bahkan diri kita sendiri akan tersenyum kagum, betapa kita sudah membuat perca-perca murung menjadi riang-riang kebahagiaan hanya dengan bermodalkan jarum syukur dan benang ketabahan.
Pedih dan kesedihan tak ubahnya awan-awan dan hujan bagi kita. Dua hal tersebut, juga mungkin rekannya yang lain sering kali seperti susul menyusul merasuki hari dan hati kita. Dengan semua yang terjadi dan semua hal yang kita terima, kita akan sering kali merasa bahwa hanya kainkain perca yang tersisa buat kita untuk merajut hidup. Hanya sesuatu yang koyak, sebuah ketidaksempurnaan.
Kita bisa menangis, jadi bintang kesepian, lalu menulis puisi sedih di bawah hujan yang syahdu. Menyalahkan nasib, mempertanyakan "Mengapa bunda melahirkan aku?" Namun rasanya hidup ini terlalu lama untuk dilalui dengan menangis atau berkelahi dan menyumpahi dengan takdir.
Mengapa kita tidak memilih tersenyum, kemudian sambil bernyanyi lagu riang mengumpulkan perca-perca kepedihan, kegagalan, dan perca-perca lainnya. Bersiap-siap menyulamnya jadi sesuatu yang manis.
Entah ini kali ke berapa saya menulis, "Hidup adalah kumpulan dari ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan". Terkadang sesuatu harus terasa begitu pedih agar hal lain bisa begitu indah. Seberapa besar kita bisa meraih kebahagiaan dalam hidup sebanding dengan seberapa sering kita mengambil sikap yang tepat untuk mensyukuri semua yag terjadi dan menggambar keindahan yang lain dari remah-remah kepedihan.
Beberapa hal mungkin sudah terlanjur koyak, tak apa. Beberapa hal yang lain mungkin patah, ya sudahlah. Tersenyumlah tegar, lalu mulailah menyulam perca-perca kesedihan kita menjadi sesuatu yang lain. Mungkin saja taplak meja 'kearifan', sarung bantal 'kesabaran', sebuah kedewasaan, atau keikhlasan.
Terus kerjakan dan bertahanlah. Ketika kita berhasil dan semuanya selesai, orang lain bahkan diri kita sendiri akan tersenyum kagum, betapa kita sudah membuat perca-perca murung menjadi riang-riang kebahagiaan hanya dengan bermodalkan jarum syukur dan benang ketabahan.
Posting Komentar