Pratama

Mati pasti akan terjadi dan dihadapi oleh yang hidup. Hanya saja tidak akan pernah dapat mati itu ditentukan. Mematikan adalah hak absolut yang dimiliki oleh Yang Menghidupkan. Mengapa Allah merahasiakannya?

1. Agar kita tidak CINTA DUNIA. Agar kita tidak cinta pada sesuatu yang PASTI TIADA. Jangan sampai ada mahluk, benda, jabatan yang menjadi penghalang kita dari Allah, karena sesuatu mahluk, benda, jabatan pasti akan diambil oleh yang menitipkannya

2. Supaya kita tidak menunda AMAL. Kita tidak pernah tahu akan mati. Detik selanjutnya dari setelah aku kirim email ini atau satu jam lagi, satu hari lagi, minggu depan, bulan depan atau tahun depan, semua dirahasikan Tuhan agar kita tidak menunda semua perbuatan baik yang akan kita lakukan, tobat yang kita lakukan,
maaf yang kita ucapkan.

3. Mencegah Maksiat. Orang akan wafat sesuai dengan kebiasaannya.
Ingat sinetron Rahasia Illahi, kan? Jadi …. Ga mau kan kita mati ketika sedang berbuat dosa??? pasti semua orang ingin kembali dalam khusnul khotimah

4. Agar menjadi orang yang cerdas. Karena hanya orang yang cerdas yang tahu bagaimana mempersiapkan mati. Yaitu dengan merubah apa yang fana ini menjadi sesuatu yang kekal. Misalnya, gaji kita yg fana, gimana caranya bisa jadi kekal? nomor satu, tabungan akhiratnya harus dilaksanakan! Untuk investasi masa depan kita

Taushiyah Lainnya (Dalam usaha Persiapan Akhirat)
a. Orang yang mampu, tapi tidak mau naik haji, matinya tidak dalam islam;
b. Menunda tidak bisa sempurnakan amal, karena tiap waktu sudah ada takdirnya masing-masing.
c. Jangan memderita memikirkan yang sudah tiada, karena yakinlah Allah Maha Tahu segala kebutuhan kita, dan Allah Maha Mencukupi.
d. Rahasia amal, adalah niat dari amalan itu. alangkah ruginya manusia yang pontang-panting mengejar sesuatu yang tidak jelas niatnya.

Semoga Bermanfaat

Pratama

Setengah jam menjelang adzan Dzuhur, dari kejauhan mata saya menangkap sosok tua dengan pikulan yang membebani pundaknya. Dari bentuk yang dipikulnya, saya hapal betul apa yang dijajakannya, penganan langka yang menjadi kegemaran saya di masa kecil. Segera saya hampiri dan benarlah, yang dijajakannya adalah kue rangi, terbuat dari sagu dan kelapa yang setelah dimasak dibumbui gula merah yang dikentalkan. Nikmat, pasti.

Satu yang paling khas dari penganan ini selain bentuknya yang kecil-kecil dan murah, kebanyakan penjualnya adalah mereka yang sudah berusia lanjut. "Tiga puluh tahun lebih bapak jualan kue rangi," akunya kepada saya yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraan bisa menemukan jajanan masa kecil ini. Sebab, sudah sangat langka penjual kue rangi ini, kalau pun ada sangat sedikit yang masih menggunakan pikulan dan pemanggang yang menggunakan bara arang sebagai pemanasnya.

Tiga jam setengah berkeliling, akunya, baru saya lah yang menghentikannya untuk membeli kuenya. "Kenapa bapak tidak mangkal saja agar tidak terlalu lelah berkeliling," iba saya sambil menaksir usianya yang sudah di atas angka enam puluh. "Saya nggak pernah tahu dimana Allah menurunkan rezeki, jadi saya nggak bisa menunggu di satu tempat. Dan rezeki itu memang bukan ditunggu, harus dijemput. Karena rezeki nggak ada yang nganterin," jawabnya panjang.

Ini yang saya maksud dengan keuntungan dari obrolan-obrolan ringan yang bagi sebagian orang tidak menganggap penting berbicara dengan penjual kue murah seperti Pak Murad ini. Kadang dari mereka lah pelajaran-pelajaran penting bisa didapat. Beruntung saya bisa berbincang dengannya dan karenanya ia mengeluarkan petuah yang saya tidak memintanya, tapi itu sungguh penuh makna.

"Setiap langkah kita dalam mencari rezeki ada yang menghitungnya, dan jika kita ikhlas dengan semua langkah yang kadang tak menghasilkan apa pun itu, cuma ada dua kemungkinan. Kalau tidak Allah mempertemukan kita dengan rezeki di depan sana, biarkan ia menjadi tabungan amal kita nanti," lagi sebaris kalimat meluncur deras meski parau terdengar suaranya.

"Tapi kan bapak kan sudah tua untuk terus menerus memikul dagangan ini?" pancing saya, agar keluar terus untaian hikmahnya. Benarlah, ia memperlihatkan bekas hitam di pundaknya yang mengeras, "Pundak ini, juga tapak kaki yang pecah-pecah ini akan menjadi saksi di akhirat kelak bahwa saya tak pernah menyerah menjemput rezeki."
Sudah semestinya isteri dan anak-anak yang dihidupinya dengan berjualan kue rangi berbangga memiliki lelaki penjemput rezeki seperti Pak Murad. Tidak semua orang memiliki bekas dari sebuah pengorbanan menjalani kerasnya tantangan dalam menjemput rezeki. Tidak semua orang harus melalui jalan panjang, panas terik, deras hujan dan bahkan tajamnya kerikil untuk membuka harapan esok pagi. Tidak semua orang harus teramat sering menggigit jari menghitung hasil yang kadang tak sebanding dengan deras peluh yang berkali-kali dibasuhnya sepanjang jalan. Dan Pak Murad termasuk bagian dari yang tidak semua orang itu, yang Allah takkan salah menjumlah semua langkahnya, tak mungkin terlupa menampung setiap tetes peluhnya dan kemudian mengumpulkannya sebagai tabungan amal kebaikan.
**
Sewaktu kecil saya sering membeli kue rangi, tidak hanya karena nikmat rasanya melainkan juga harganya pun murah. Sekarang ditambah lagi, kue rangi tak sekadar nikmat dan murah, tapi Pak Murad pedagangnya membuat kue rangi itu semakin lezat dengan kata-kata hikmahnya. Lagi pula saya tak perlu membayar untuk setiap petuahnya itu.

Pratama



Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya. "Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat.

"Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti...."

Kemudian, anak itu bertanya pada ayahnya. "Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas?" Sang ayah menjawab, "Semua wanita memang menangis tanpa ada alasan". Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.
Lama kemudian, si anak itu tumbuh menjadi remaja dan tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis.

Pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan. "Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis?"
Dalam mimpinya, Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga, bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan, dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau, seringkali pula, ia kerap berulangkali menerima cerca dari anaknya itu.

Kuberikan keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah, saat semua orang sudah putus asa.

Pada wanita, Kuberikan kesabaran, untuk merawat keluarganya, walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang, untuk mencintai semua anaknya, dalam kondisi apapun, dan dalam situasi apapun. Walau, tak jarang anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya.

Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya, melalui masa-masa sulit, dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak?

Kuberikan kepadanya kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap berdiri, sejajar, saling melengkapi, dan saling menyayangi.

Dan, akhirnya, Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya, air mata ini adalah air mata kehidupan".

Maka, dekatkanlah diri kita pada sang Ibu kalau beliau masih hidup, karena di kakinyalah kita menemukan surga.

Kasih ibu itu seperti lingkaran, tak berawal dan tak berakhir. Kasih ibu itu selalu berputar dan senantiasa meluas, menyentuh setiap orang yang ditemuinya. Melingkupinya seperti kabut pagi, menghangatkannya seperti mentari siang, dan menyelimutinya seperti bintang malam.

Semoga Yang Maha Kuasa mengampuni dosa-dosanya


Pratama

Saya mengikuti rapat komite sekolah SMA dan kepala sekolah bercerita tentang percakapan seorang siswa dan ibunya.

Ibu: Nak, belajarlah yang rajin agar jadi anak yang pandai sebagai bekal hidupmu kelak. Sekarang kau kelas 1, belajarlah agar naik kelas 2.
Anak: Iya bu, saya berjanji. Nanti kalau saya naik kelas belikan aku hp ya?

Ibu: Belajarlah yang rajin nak. Dan berdoalah, apa yang kau minta pasti kau dapatkan nanti.
Si anak berdoa dan belajar dan ibunyapun mendoakan.

Si anak naik kelas 2.
Anak: Bu aku naik kelas. Mana hp untukku?
Ibu: Nak, doamu dan doaku terkabul, kau naik kelas. Soal hp, kau tau keadaan kita sekarang. Berdoa dan belajarlah terus yang rajin agar naik kelas 3.
Anak: Aku mengerti bu. Nanti kalau saya naik kelas, belikan aku komputer ya?
Ibu: Belajarlah yang rajin nak. Dan berdoalah, apa yang kau minta pasti kau dapatkan nanti.
Si anak berdoa dan belajar dan ibunyapun mendoakan.

Si anak naik kelas 3.
Ibu: Nak, saya bangga kau naik kelas, peringkat satu lagi.
Anak: Kapan kita beli komputernya?
Ibu: Nak, ...
Anak: Bagaimana sih! Ibu kan selalu bilang: "Berdoalah, apa yang kau minta pasti kau dapatkan nanti."
Ibu: ... (meneteskan air mata)
Anak: Pokoknya aku mau hp dan komputer, titik!
Ibu: (Lembut tapi tegas) Nak, kau sudah sma, kau sudah besar dan sekarang kelas 3. Kau tau kan, masa depanmu ada di tanganmu. Kau yang menentukan masa depanmu. Ibu dan bapakmu berdoa untukmu dan melakukan semua untuk membantumu. Sampai saat ini SPP dan kebutuhanmu yang lain bisa kami penuhi. Setahun lagi ... (air mata menetes).
Anak: Aku mengerti ... (dipeluknya ibunya)
Ibu: Gunakanlah dan manfaatkan komputer di lab sekolah sebaik mungkin. Bila memang perlu kau boleh ke warnet untuk belajar. Nak, ...
Anak: Aku mengerti ... (dipeluknya ibunya lebih erat)
Ibu: Belajarlah yang rajin nak. Dan berdoalah, apa yang kau minta pasti kau dapatkan nanti.

Si anak berdoa dan belajar dan ibunyapun mendoakan. Si anak lulus sma.
Sang ibu terbayang akan permintaan anaknya tapi, karena keadaan, dia tak pernah berani menjanjikan untuk membelikannya. Kemudian terlintas di pikirannya, sejak melahirkan anaknya dan kemudian membesarkannya sampai lulus sma seberapa besar jumlah biayanya? Nilai hp dan komputer pasti tak cukup untuk menggantinya. Tapi, seorang ibu tak hendak membuat hitung-hitungan dengan anak.

Beberapa hari kemudian si anak memberitahu bahwa dia diterima di perguruan tinggi dengan beasiswa. Sang Ibu meneteskan air mata haru penuh syukur dan bangga.
Dua minggu kemudian pada acara pelepasan di sekolah sang ibu naik ke atas panggung mendampingi sang anak menerima hadiah sebuah laptop dan sebuah iPod. Selama di sekolah sang ibu hanya tersenyum kepada sang anak (selebihnya dia simpan untuk dicurahkan di rumah). Di hanya bilang "Nak, berterimakasihlah pada guru-gurumu."

story received via email in Sept 2006
Pratama

Anak merupakan titipan ilahi dan sekaligus amanah dari Sang Maha Pencipta, tetapi karena kesibukan kita mencari nafkah untuk keluarga sehari-hari sampai-sampai kita tidak dapat menyediakan sedikit waktu untuk sekedar memperhatikan hak seorang anak untuk mendapatkan perhatian, kasih sayang dari seorang ayah atau ibunya. Mungkin dari kisah nyata berikut ini dapat kita ambil hikmah yang dapat kita ambil dan sebagai cermin bagi kita semua.

Seperti biasa Rudi, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.

"Kok, belum tidur ?" sapa Rudi sambil mencium anaknya.

Biasanya Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Imron menjawab, "Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?"

"Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?"

"Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Imron singkat.

"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja. Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?"

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar
sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya. "Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp. 40.000,- dong" katanya.

"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Rudi
Tetapi Imron tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?"

"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini ? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah".

"Tapi Papa......."

Kesabaran Rudi pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.

Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, "Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Imron. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp. 5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Rudi.

"Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini".

"Iya, iya, tapi buat apa ?" tanya Rudi lembut.

"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja... Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp. 15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp. 5.000,- makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Imron polos.

Rudi pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.


with Love & Peace
Zulys Rara - KOMPASIANA