Pratama
Gila!

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gila diartikan sebagai sakit
ingatan, sakit jiwa, sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal;
tidak biasa, tidak sebagaimana mestinya, berbuat yang bukan-bukan;
terlalu, kurang ajar, ungkapan kagum; atau dapat juga berarti
terlanda perasaan sangat suka. Jadi memang pemakaian kata gila tidak
melulu identik dengan seseorang yang sakit ingatan.

Beberapa hari terakhir ini, media massa ramai memberitakan
kasus "menghilangnya" pesawat Adam Air rute Surabaya-Manado yang
belum ditemukan. Nasib 102 penumpang dan awak pesawat itu hingga kini
masih tak tentu rimbanya. Ketika dikabarkan pesawat Adam Air jatuh di
Desa Rangoan, Sulawesi Barat, semua perhatian segera mengarah ke
lokasi tersebut. Informasi ini sulit untuk tidak dipercaya, karena
cukup detail. Ketika teman saya tahu bahwa informasi tersebut hanya
hoax belaka, ia hanya bisa bergumam, "Gila!"


Ditujukan kepada apa atau siapa ungkapan tersebut, saya tidak tahu.
Apakah ditujukan kepada orang yang menyebarkan berita bohong tersebut
atau kepada pemerintah yang percaya mentah-mentah berita tersebut
tanpa perlu melakukan check and recheck terlebih dulu? Dan ketika
membaca ulasan di media yang memberitakan bujet perawatan pesawat
dibikin cekak untuk menaikkan keuntungan bisnis mereka, dus,
keselamatan penumpang diabaikan, lagi-lagi teman saya menggumam untuk
yang kedua kalinya, "Gila!"

Pada akhir 2006, kita dikejutkan oleh berita keterlambatan pengiriman
katering jemaah haji Indonesia di Tanah Suci. Sekitar 200 ribu
anggota jemaah haji asal Indonesia harus menahan lapar lebih dari 30
jam. Sepanjang sejarah pengelolaan haji yang sudah dilakukan
pemerintah selama berpuluh tahun, baru kali inilah manajemen
kateringnya amburadul. Teman saya pun tak bisa tidak untuk
berkomentar "gila!" untuk kasus ini.

Ketika rakyat di beberapa daerah terpaksa makan nasi aking hanya
untuk sekadar bertahan hidup, pada saat yang bersamaan diberitakan
gaji para anggota DPRD naik sebesar dua kali lipat dari sekarang. Hal
itu terjadi setelah Presiden Yudhoyono menandatangani Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 pada November lalu. Peraturan tersebut
mengamanatkan dua tambahan tunjangan bagi anggota DPRD, yaitu
tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional.

Kenaikan gila-gilaan dialami ketua dan wakil ketua DPRD. Selain
mendapatkan tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp 9 juta, ketua
DPRD masih mendapatkan dana operasional yang mencapai Rp 18 juta,
sedangkan wakil ketua mendapat dana operasional Rp 9,6 juta! Banyak
orang kemudian geleng-geleng kepala dan kembali saya mendengar (bukan
hanya satu) orang berkomentar, "Gila!"

Dari hari ke hari, kita disuguhi berita-berita yang tidak hanya dapat
membuat kita mengurut dada, tapi juga sering mendorong kita untuk
berkomentar, "Gila!" Cerita getir memilukan (bahkan kadang memalukan)
dari berbagai pelosok negeri ini datang silih berganti. Masyarakat
pun cenderung bersikap permissiveness. Hari ini menjadi headline,
esok hari sudah tidak dibicarakan atau bahkan dilupakan.

Kondisi ini tampak diperparah dengan makin bertambahnya jumlah
penganggur di Indonesia. Dalam penelitiannya, Profesor M. Harvey
Brenner dari Universitas John Hopkins mengemukakan, untuk setiap
kenaikan 1 persen angka pengangguran, tercatat kenaikan 1,9 persen
penyakit jantung, 4,1 persen bunuh diri, dan 4,3 persen pasien baru
di rumah sakit jiwa. Jangan-jangan, dengan "kegilaan" yang melanda
republik ini, persentase dari hasil studi Brenner bisa berubah.

Ketua Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa Ontoseno menuturkan gejala
sakit jiwa yang dialami penderitanya, antara lain mudah melakukan
kekerasan seperti membakar atau menggebuki pencuri sampai mati,
manipulatif, cuek, serta tidak mengenal apa yang baik dan buruk. Dan
hal tersebut terjadi di semua lapisan masyarakat. Satu bait ramalan
Jayabaya, "sungguh zaman sedang gonjang-ganjing, menyaksikan zaman
gila, tidak ikut gila tidak dapat bagian", bisa jadi menggambarkan
keadaan bangsa kita saat ini: kalau tidak ikut gila, kita tidak
kebagian. Kalau memang demikian halnya, sungguh malang negara ini.
Jelas ada sesuatu yang salah di negeri ini, tapi dari mana kita
hendak memulai mengurai benang kusut ini?

Tak usah lagi mengurusi hal-hal remeh-temeh. Banyak persoalan besar
yang perlu diselesaikan di negeri ini: bencana lumpur Lapindo,
potensi pandemi flu burung, berbagai peraturan daerah yang tumpang-
tindih, lemahnya daya tarik investasi asing, krisis energi yang
berimpak pada ketahanan nasional, reformasi birokrasi yang belum
menyentuh lembaga yudikatif, dan segepok masalah besar lain yang
masih menunggu.

Bahkan Presiden Yudhoyono berjanji tak akan lagi melakukan kompromi
dalam mengambil keputusan yang menyangkut rakyat. Berbagai masalah
yang merundung negara ini memang membutuhkan tindakan cepat, tegas,
dan nyata--seperti dijanjikan Presiden dalam pidato sambutannya pada
acara ulang tahun ke-69 kantor berita Antara. Dalam konteks ini,
sudah sewajarnya jika Presiden bertindak cepat sehingga bisa
mengundang komentar, "Wah, gile bener, Presiden sudah bongkar
kabinet, tak ada kompromi lagi rupanya dengan parpol," atau mungkin
komentar lain yang tidak kalah gilanya: "Gila benar, kapan SBY ada
waktu istirahat kalau sampai akhir pekan pun masih mengurus tugas
negara."

Francis Fukuyama dalam bukunya, Trust, mengingatkan kita, langkah apa
pun tak akan cukup untuk menyelesaikan masalah suatu bangsa tanpa
adanya trust, jaminan rasa aman. Sesungguhnya yang diperlukan saat
ini adalah kerelaan para pemimpin dan elite untuk saling mendengar,
mengakhiri perdebatan, dan mencari jalan keluar terbaik buat
menyelamatkan bangsa dari kehancuran. Para pemimpin harus duduk
bersama dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Dan yang tak kalah
penting, pemimpin haruslah memberi contoh teladan yang baik bagi
rakyatnya. Panutan harus dimulai dari atas. Tanpa itu semua, jangan
harap bangsa ini keluar dari situasi gila seperti saat ini.

Sumber: Gila! oleh Sonny Wibisono (Koran Tempo - Sabtu, 27 Januari
2007)
0 Responses

Posting Komentar